Senin, 12 Desember 2016

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN SAFAWI

A.  KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN KERAJAAN SAFAWI
Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan safawi tidak menunjukan grafik naik dan berkembang, tetapi justru malah memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.
Safi Mirza cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburuannya. Kemajuan yang pernah dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad  direbut oleh Kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian dengan bantuan wazir-wazirnya , pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhdap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap asa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yan alim. Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya yang terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah kekuasaannya dengan merebut negeri-negeri afghan dari kekuasaan safawi. Ia bahkan berusaha menguasai Persia.
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengikuti kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagai gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak husein). Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut kiriman. Tak lama kemudian, ia dan pasukannya menyerang Isfahan, mengepungnya selama enam  bulan dan memaksa Shah Husein untuk menyerarah tanpa syarat. Pada tanggal 12 oktober 1722 M, Shah Husein menyerah dan 25 oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabat. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bekerjasama denga Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud yang beerkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangan kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya, 8 maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggatikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani. Bagi kerajaan Utsmani  berdirinya kerajaan safawi yang beraliran Syiah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar islam itu.
Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, disamping pecandu berat narkotik juga menyenangi kehidupan malam beserta harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekalipun menyempatkan diri menangani pemerintah. Begitujuga Sultan Husein.
Penyebab yang lainnya adalah karena pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melaui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash yang sebelumnya.
Tidak kalah penting dengan sebab-sebab diatas adalah seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.[1]



[1] Badri Yatim, sejarah peradaban islam, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2011, halaman. 156-159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar